Jakarta, INA-INA.
Para pegawai KUA sebagai abdi negara jelas dilarang menerima
gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Selama ini proses pencatatan perkawinan di KUA banyak
memunculkan keluhan dari masyarakat. Mulai dari pelayanan yang dianggap
berbelit-belit sampai dengan besarnya biaya yang dikenakan pada calon
pengantin (catin) yang mencapai ratusan ribu sampai jutaan rupiah.
Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2004 tentang PNBP
biaya pencatatan pernikahan hanya Rp 30.000.
Maka segala tarikan biaya yang dilakukan di luar ketentuan jelas
merupakan pungli yang oleh Irjen Kemenag sendiri disebutkan angkanya
bisa mencapai 1,2 Trilun per tahun.
Tak hanya itu hasil survei integritas yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kementerian/lembaga dan BUMN di
sektor pelayanan publik, juga mengungkap bahwa layanan di Kantor Urusan
Agama sangat buruk. Dari hasil Survei Integritas Sektor Publik tahun
2012 ini, layanan Administrasi Pernikahan KUA Kementerian Agama
mendapat nilai terendah di unit layanan vertikal.
Soal pungli dan rendahnya kinerja pelayanan publik ini pun membuat para
kepala KUA dari beragam propinsi merasa gerah. Mereka pun menuangkan
uneg-uneg mereka di ruang Rapat Pleno PKS, Kamis (28/2) saat digelar
Diskusi Terbuka bertema “Hapus Pungli di KUA”.
“Kami tidak terima disebut melakukan pungli,” tegas Kepala KUA Senen.
“Kami sungguh merasa terpojok dengan sebutan menerima pungli ini,” ujar
Kepala KUA Kepulauan Riau. “Kalau kami juga dianggap berkinerja rendah
dalam melakukan pelayanan publik, saya paparkan bahwa kamilah
satu-satunya instansi yang justru “tunduk” dengan kemauan masyarakat.
Jadwal nikah, tempat nikah, kami yang ikuti kemauan masyarakat,”
paparnya lebih lanjut.
Tak sedikit pula yang memaparkan betapa luasnya tugas yang mereka emban
sementara anggaran yang tersedia sangat minim sebagaimana dicontohkan
kepala KUA dari Kalimantan Selatan. Di sana, satu Kepala KUA harus
melayani sekitar 300 ribu penduduk, sehingga harus dibantu oleh petugas
pencatat nikah yang kesemuanya tidak bergaji. Biaya nikah yang
ditetapkan 30 ribu. Namun biaya perjalanan ke satu tempat nikah bisa
mencapai 200 ribu rupiah, sementara di tempat pernikahan mereka
seringkali juga harus menjadi penceramah, pendoa, wali hakim hingga
pembawa acara.
“Apakah kami harus menutup layanan pada hari Sabtu, Ahad, hari libur
pun permintaan di luar jam kerja? Kami harus bagaimana?” itu simpulan
uneg-uneg yang terungkap.
Ledia Hanifa selaku wakil pimpinan PKS menegaskan bahwa diskusi terbuka
yang menghadirkan narasumber Prof. Abdul Djamil (Dirjen Bimas Islam
Kemenag), Moch. Jasin (Irjen Kemenag), M.Chairul Anwar (Komisioner
Ombudsman), Aida Ratna (Litbang KPK) dan HM Nasir Djamil dari Poksi VIII
FPKS ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menuding atau menghakimi
salah satu pihak, tetapi justru untuk mencari solusi perbaikan di masa
datang.
Kita memahami bahwa tugas dan fungsi KUA sangat banyak sementara
anggarannya minim, lanjut Ledia. “Namun hal itu tidak menyebabkan kita
boleh menutup mata atas temuan pungli di KUA dan hasil survei KPK soal
rendahnya integritas layanan publik KUA,” jelas anggota komisi VIII FPKS
ini mengenai alasan PKS menggelar acara ini.
Masalah yang muncul harus ditangani. Begitu pula masyarakat yang akan
menikah tidak boleh sampai terbebani dengan biaya administrasi
pernikahan yang tinggi. Namun, KUA termasuk para pegawainya tidak bisa
juga dibiarkan terjebak dalam kondisi “terpaksa pungli”, dimana mereka
harus memberikan pelayanan publik dalam urusan pernikahan tetapi tidak
memperoleh anggaran memadai untuk mampu berkhidmat secara maksimal.
Karena itu FPKS lantas memberikan solusi untuk menggratiskan biaya
nikah sebagaimana KTP dan Akta Lahir. Biaya operasional KUA yang selama
ini hanya dua juta sebulan pun selayaknya ditingkatkan, setidaknya
menjadi 20 juta sebulan.
“Kalau puskesmas punya BOK, Bantuan Operasional Kesehatan, KUA pun
layak mendapat Bantuan Operasional KUA yang diperuntukkan secara jelas
untuk menunjang operasional KUA di luar gaji, honor dan penyediaan
fasilitas sarana prasarana KUA.”