2* Dasar filsafati (bhs. Belanda).
---- 3* Kemerdekaan politik (bhs. Inggris dan Belanda).
4* Seolah-olah amat berat (bhs. Belanda).
5* Dengan teliti, terinci dan lengkap (bhs. Jawa).
(3) Adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia. adalah rakyat Musyik 6* yang lebih dari 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo7*! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka,—sampai di lubang kubur! (Tepuk tangan riuh). Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam—in one night only!—kata Amstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang jembatan—artinya kemudian dari pada itu—Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade 8*, yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi
----- 6* Golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut suatu agama.
7* Kepala Kantor Tata Usaha untuk Lembaga Tinggi (bhs. Jepang). Badan di bawah pemerintah militer Jepang untuk mengurus persiapan sidang-sidang BPUPKI.
8* Suku yang berpindah-pindah tempat, pengembara (bhs. Belanda).
(4) Kaum tani,—semuanya di seberang jembatan. Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Dneprprostoff, dam yang mahabesar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche9*, baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat—jikalau Tuan-tuan demikian—dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh). Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang! (Tepuk tangan riuh). Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka,—kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar- hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan -----
9* Tempat penitipan bayi dan anak-anak pada waktu orangtuanya bekerja.
(5) Kesempatan oleh Dai Nippon
10* (Kekaisaran) Jepang Raya.
11* Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang.
12* Kepala Departemen Urusan Umum.
13* Kepala Departemen.
14* Tuntutan minimum (bhs, Belanda).
(6) Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka. (Tepuk tangan riuh) Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentulmentul
15* Memantul, melenting (bhs. Jawa).
16* Pakaian untuk anak-anak.
17* Tempat duduk yang nyaman untuk bersantai (bhs. Belanda).
18* Jurutulis (bhs. Belanda).
19* Berasal dari kata bandoro (bhs.Jawa), yang berarti tuan atau majikan.
20* Alat masak listrik.
21* Berbahagia (bhs. Belanda).
(7) Satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver 22* satu kaset plus kinderuitzet,— buat 3 tahun lamanya! (Tertawa). Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: —kita ini berani merdeka atau tidak?—Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence—saya ulangi lagi—sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka! (Tepuk tangan riuh) Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hati-nya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memer-dekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet- Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per satu. Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem 23*, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya -----
22* Peralatan makan dari perak.
23* Penyakit busung lapar.
(8) Menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan—jembatan emas—inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi. Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang mahapenting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutara-kan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationaal recht—hukum internasional— menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko
24* Macam-macam (bhs. Jawa).
25* Pandangan hidup, filsafat hidup (bhs. Jerman).
(9) Berdiri di atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national-sozialistische Weltanschauung—filsafat nasionalsosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tennoo Koodoo Seishin. Di atas Tennoo Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu Weltanschauung— bahkan di atas satu dasar agama—yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka? Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”— Reed di dalam kitabnya Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia—walaupun Lenin mendirikan SovyetRusia di dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauungnya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan. Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, Weltanschauung itu disediasediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian—hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed—hanya dalam 10 hari itulah
(10) Didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian? Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, men-dirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltan-schauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini—Weltanschauung ini—dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka demikian pula. jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yan Sen? Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885—kalau saya tidak salah—dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The three people’s principles, San Min Chu I—Mintsu, Minchuan, Min Sheng: nasionalisme, demokrasi, sosialisme—telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun. Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Welt-anschauung apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah? Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan—macam-macam— tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadi-koesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuan
(11) Philosofische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Sdr. Sanoesi setujui, yang Sdr. Abikoesno setujui, yang Sdr. Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.
26* Cara (bhs. Belanda).
(12) Beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat
27* Negara nasional (bhs. Belanda).
28* Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis.
29* Pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria.
(13) Kemarin—kalau tidak salah—Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekadar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft
30* Persamaan, persatuan (bhs. Jerman).
31* Jiwa dan kehendaknya (bhs. Perancis).
(14) Sparta plus Athena plus Macedonia plus daerah Yunani yang lainlain— segenap kepulauan Yunani—adalah satu kesatuan. Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia-lah tanah air kita. Indo-nesia yang bulat—bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera—itulah tanah air kita! Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat –antara rakyat dan buminya—maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu. Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa di Indonesia, yang paling ada “le desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kirakira 2 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan. Pendek kata, bangsa Indonesia—Natie Indonesia—bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t., tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(15) (Tepuk tangan hebat). Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen
32* Kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony.
(16) Baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo
(17) Menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen,—sampai masuk ke lobang kubur. (Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan) Saudara-saudara. Tetapi… tetapi… memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang merun-cingkan nasionalisme menjadi chauvinisme,34* sehingga berpaham “In-donesia uber Alles”.
34* Nasionalisme yang berlebih-lebihan.
35* Indonesia di atas semua (bangsa).
(18) Berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2—yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuantuan sekalian—adalah bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufa-kat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam—maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna—tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpinpemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebathebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusanutusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100
(19) Orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hidup-lah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian—baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam—setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candra-dimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat, Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter
36* Huruf (bhs. Belanda).
37* Permainan yang jujur (Bhs. Inggris).
38* Revolusi Perancis (bhs. Belanda).
(21) Kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?” Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister.
39* Menteri (bhs. Belanda dan Inggris).
40* Menganggur (bhs. Belanda).41 Keadilan politik.
42* Keadilan sosial.
43* Arti harfiahnya: pewarisan yang diketahui terlebih dahulu (bhs. Belanda).
(22) Karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya—dengan otomatis— menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu. Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme—atau perikemanusiaan. 3. Mufakat—atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial. Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber- Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadirin) Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,44* tentang menghormati agama-agama -----
44* Sifat dapat memahami lain pendapat (bhs. Belanda).
(23) Lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini—sesuai dengan itu—menyatakan: bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa! Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, Saudara saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga—permufakatan, perwakilan—di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masingmasing dengan cara yang tidak onverdraagzaam,
45* Tidak sabar, maksudnya: dengan pemaksaan (bhs. Belanda).
(24) Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme—kebangsaan dan perikemanusiaan—saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiekeconomische democratie—yaitu politieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan—saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan sosiodemokrasi. Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosionasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotongroyong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong! (Tepuk tangan riuh-rendah.) “Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama,
(25) Perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntulbaris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong! (Tepuk tangan riuh-rendah). Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, Saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia,—di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambatlaun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t. Berhubungan dengan itu—sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi—barangkali perlu diadakan noodmaatregel,
46* Arti harfiah: aturan darurat (bhs. Belanda).
(26) Untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudarasaudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan—menjadi realiteit—jika tidak dengan perjuangan! Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! De Mensch—manusia!—harus perjuangkan itu. Zonder47* per-juangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit
47* Tanpa (bhs. Belanda).
48* Hitam di atas putih (bhs. Belanda).
(27) Ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko—tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan matimatian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, merdeka atau mati” ! (Tepuk tangan riuh.) Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig”
49* Seolah-olah sangat berat sekali (bhs. Belanda).